
Portalssi, Aceh : Di tengah derasnya arus informasi dan maraknya praktik jurnalistik instan, urgensi pendidikan jurnalistik di tingkat kesarjanaan semakin dirasakan oleh berbagai kalangan. Tak lagi cukup hanya mengandalkan kemampuan teknis menulis berita, jurnalis masa kini dituntut memiliki landasan ilmiah, etika profesi, serta pemahaman multidisipliner yang kokoh.
Ketua Umum Forum Pimpinan Redaksi Multimedia Indonesia (FPRMI), Wilson B Lumi, menegaskan pentingnya penguatan akademik bagi calon jurnalis. “Jurnalisme bukan sekadar kemampuan teknis menulis atau menyunting berita. Ia adalah ilmu, seni, dan tanggung jawab sosial yang menuntut pembentukan karakter serta kapasitas intelektual,” ujarnya.
Senada dengan itu, Muktarruddin Usman, Pengamat Pers Nasional, menyebut bahwa pendidikan jurnalistik yang sistematis di tingkat universitas menjadi benteng utama profesionalisme media. “Jurnalis yang tidak pernah bersentuhan dengan teori komunikasi, kode etik, dan sejarah pers akan mudah tergelincir menjadi alat propaganda atau penyebar sensasi,” tegasnya.
Maslow Kluet, wartawan senior di Aceh, juga menggarisbawahi pentingnya bekal akademik bagi jurnalis muda. Menurutnya, tantangan industri media saat ini tidak hanya berasal dari kemajuan teknologi, tetapi juga dari krisis kepercayaan publik. “Ilmu jurnalistik di level sarjana memberikan kerangka berpikir dan tanggung jawab moral yang kuat—itu yang tak bisa digantikan oleh pengalaman lapangan semata,” ungkapnya.
Sementara itu, Rizki Maulana, mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta, menyampaikan bahwa pembelajaran jurnalistik di kampus membentuk pemahaman lebih dalam tentang peran media dalam konstruksi realitas. “Kalau hanya mengejar viral, semua orang bisa jadi jurnalis. Tapi tanggung jawab sosial dan integritas lah yang membedakan kita,” katanya.
Di Aceh sendiri, sejumlah perguruan tinggi telah mengintegrasikan mata kuliah jurnalistik ke dalam program komunikasi. Namun berbagai pihak menilai, sudah saatnya hadir program studi jurnalistik murni yang berdiri sendiri agar proses pembinaan profesi berlangsung lebih serius dan terarah.
“Profesi ini butuh legitimasi intelektual. Jangan sampai jurnalis dianggap sekadar tukang catat peristiwa, padahal perannya jauh lebih dalam: merekam sejarah, mengawal demokrasi, dan menjadi suara bagi yang dibungkam,” pungkas Wilson.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi:
Rizki Maulana
Telepon: 082163903339
-