Oleh: Syahrati, S.HI, M.Si.
Penyuluh Agama Fungsional Kabupaten Bireuen
Pernikahan adalah institusi terpenting dalam kehidupan manusia. Menikah bukan hanya memenuhi kebutuhan seksualitas, tapi merupakan cita-cita besar dalam membangun peradaban dunia, karena langkah awal bagi dua insan membentuk keluarga yang harmonis dan solid. Mereka membina keluarga yang mampu menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang, melahirkan genarasi-generasi unggul, dan berkualitas. Idealnya seorang yang memutuskan untuk menikah memiliki bekal yang cukup untuk dapat mengarungi kehidupan rumah tangga dengan kompleksitas permasalahan.
Pernikahan bukan persoalan sepele, tetapi menyangkut masa depan berkepanjangan. Untuk hal yang tidak sepele itu dibutuhkan persiapan yang matang dan serius, baik fisik, psikis maupun mental. Kesiapan menikah identik dengan kematangan usia, karena pada usia yang matang seseorang mampu berpikir dewasa, memiliki cukup pendidikan, pengalaman, bertanggung jawab dalam financial, serta matang dalam bereproduksi.
Pertama kali dalam sejarah, bahwa UU Perkawinan direvisi. Artinya, dengan ditetapkannya UU Perkawinan tahun 2019 menjadi catatan sejarah tersendiri dalam perkembangan dan pembaharuan hukum pernikahan di Indonesia. Dengan lahirnya UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terjadi perubahan fundamental terkait substansi hukum (materi) Pasal 7 ayat (1) yakni, “Penyamaan batasan umur pernikahan antara laki-laki dan wanita yaitu 19 tahun”.
Dalam penjelasan UU Perkawinan terbaru ini menyatakan, bahwa batasan umur tersebut dinilai telah matang jiwa raga untuk melangsungkan perkawinan, agar dapat merealisasikan tujuan perkawinan secara baik, tanpa berakhir perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas.
Dampak
Meskipun pemerintah telah merevisi batas minimal usia perkawinan, namun praktik pernikan dini masih cukup tinggi. Komnas Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2021 terdapat 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan atau Mahkamah Syar’iyah. Pernikahan dini banyak terjadi di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan. Pada tahun 2020, sebanyak 15,24 persen pernikahan anak terjadi di wilayah perdesaan dan 6,82 persen di perkotaan.
Pernikahan dini berdampuk buruk, terutama dari segi kesehatan. Penting diketahui, kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun anak. Kehamilan pada usia yang sangat muda ini berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa, anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun.
Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi. Kehamilan pada usia perempuan yang masih sangat muda juga berisiko kelainan pada bayi atau cacat bawaan lahir, tekanan darah tinggi dan bayi lahir prematur, penyakit menular seksual, dan depresi pasca melahirkan. Juga berisiko bayi lahir dengan berat badan di bawah normal (BBLR).
BBLR adalah salah satu faktor yang memengaruhi stunting secara langsung. Stunting adalah salah satu permasalahan kesehatan yang sering dihadapi anak di bawah lima tahun, yang menyebabkan pertumbuhan anak menjadi lambat, rendahnya daya tahan tubuh dan kecerdasan yang kurang.
Risiko
Penderita stunting memiliki kemampuan kognitif di bawah rata-rata, termasuk berisiko terkena penyakit tidak menular (PTM), seperti jantung dan diabetes. Menurut Unicef (The United Nations Children's Fund), stunting menandakan gizi buruk kronis selama periode emas tumbuh kembang anak pada usia dini.
Data yang ada menunjukkan, 43,5 persen kasus stunting di Indonesia terjadi pada anak berumur di bawah tiga tahun (batita) dengan usia ibu 14-15 tahun. Sementara 22,4 persen dengan rentang usia 16-17 tahun. Remaja yang menikah di bawah umur, anaknya berisiko terkena stunting yang disebabkan karena remaja putri masih memerlukan asupan gizi yang baik, hingga berusia 21 tahun.
Apabila terjadi kehamilan pada usia dini, maka akan menyebabkan ketidak seimbangan dalam pemenuhan gizi antara ibu dan juga bayi, tubuh ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya. Selain itu, perempuan yang masih berusia remaja secara psikologis belumlah matang dan belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar.
Karena itu, salah satu upaya pencegahan lahirnya anak stunting adalah dengan mengupayakan pencegahan pernikahan dini, hingga memasuki ideal menikah. Tentu saja hal ini memerlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, mitra pembangunan dan lembaga non pemerintah lainnya. Kerja bersama harus dilakukan dari tahap penyusunan strategi berdasarkan data yang akurat dalam menurunkan angka pernikahan dini, hingga implementasinya dengan memastikan layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas. (editor: smh)