Oleh: Abdul Rani, S.Sos.I, MA
Kepala Seksi Pembinaan Lembaga Keagamaan DSI Aceh
Pengunaan istilah tunangan umum digunakan di nusantara dengan berbagai bahasa daerah yang semakna, selain dinamakan tunangan, ia terkenal juga dengan lamaran atau bahasa Arabnya disebut khitbah. Tunangan dalam Islam dipahami sebagai langkah awal menuju jenjang pernikahan yang sah.
Peminangan/pertunangan merupakan pendahuluan atau persiapan sebelum melangkah ke pernikahan, pertunangan atau pinangan hukumnya adalah mubah (boleh) selama syarat khitbah/pertunangan dipenuhi, khitbah diperbolehkan karena tujuan pertunangan hanyalah sekedar mengetahui kerelaan dari pihak wanita yang dipinang beserta sebagai janji bahwa sang pria akan menikahi wanita tersebut, sebagaimana Sabda Nabi Saw “Jika diantara kalian hendak meminang seorang wanita, dan mampu untuk melihat darinya apa-apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah”. (H.R. Imam H. Ahmad dan Abu Daud).
Aceh merupakan daerah yang kental dengan hukum adat salah satunya adalah adat perkawinan dimulai peminangan, pernikahan hingga walimah. Dalam prosesi adat perkawinan diawali dengan “jak keumalen (cah roet) Bahasa Aceh” merupakan tahapan awal pra nikah, ini merupakan prosesi merintis jalan yang dilakukan untuk mencari tahu dan mengenal calon mempelai wanita.
Prosesi ini biasanya akan dilakukan langsung oleh orang tua calon linto atau mengirim utusan khusus (theulangke) untuk melihat dan memastikan calon dara baro serta mengemukakan tujuan kedatangannya ke rumah keluarga calon mempelai wanita dengan membawa bingkisan, seperti sirih, buah-buahan, baju dan lainnya. Jika calon mempelai wanita menerima lamaran maka ia akan menjawab “insya Allah“ atau dengan bahasa kiasan “get lumpo” baik mimpi. Jika tidak diterima mereka akan menjawab dengan alasan yang baik pula “hana get lumpo” tidak baik mimpi, sehingga tseulangke dapat membawa khabar kepihak keluarga calon linto baro. Bila lamaran diterima maka pihak keluarga pria akan melanjutkan dengan “Jak Ba Tanda” (membawa tanda/melalui pertunangan).
Di Aceh, pertunangan adalah suatu proses penjajakan awal sebelum melangkah ke pernikahan oleh pihak orang tua maupun orang tua adat sebelah calon linto baro ke rumah orang tua adat calon dara baro dengan melibatkan theulangke, petua adat (geucik), tokoh agama, tokoh pemuda dan tuan rumah keluarga dari kedua calon yang akan dipertunangkan dengan mengikuti syarat-syarat yang telah ditentukan.
Apabila berlainan kabupaten/kota, maka pihak petua adat dari calon linto baro menyesuaikan dengan kearifan lokal adat setempat atau boleh jadi mempertahankan adat gampongnya masing-masing, disini sangat diperlukan peran masing-masing petua adat, theulangke dan tokoh agama sehingga saat prosesi peminangan tidak lagi kalangkabut.
Adapun peran petua adat masing-masing pihak menyampaikan maksud dan tujuan kehadirannnya serta memberikan informasi yang akurat atas diri calon linto dan calon dara baro yang akan diikat dengan pertunangan sedangkan theulangke merupakan penyambung lidah antara kedua keluarga.
Pembuka haba (pengantar) diawali oleh pihak tua adat calon linto, pihak tua adat calon dara baro memberikan jawaban atas pertanyaan, menerima tujuan serta memberikan keterangan calon dara baro sehingga kedua belah pihak dapat meminang putri gampong petua adat dengan mahar yang telah disepakati oleh pihak keluarga melalui duk pakat keluarga antara silangke, petua adat dan keluarga calon dara baro.
Dalam pembicaraan adat tidak hanya sampai jumlah mahar, bawaan penganten, hari pernikahan, jam terima besan, tetapi berkaitan dengan pasca pertunangan seperti hal-hal yang boleh dilakukan oleh calon linto juga larangan yang ngak boleh dilakukan oleh calon linto dan calon dara baro, termasuk ancaman adat bila pertunangan putus ditengah jalan harus disampaikan konsekwensinya sehingga nilai-nilai syariat dan adat tetap terjaga.
Dalam budaya Aceh pertunangan sangat dijaga dan terpelihara dari pengaruh pihak-pihak yang membuat pertunangan retak seperti ada kumbang lain yang ingin menghisap madu/pria lain yang ingin berhasrat hati terhadap pinangan orang lain, bila hal itu terjadi akan dikenai sangsi adat oleh petua adat kedua belah pihak.
Adapun sanksi adat/denda adat dalam hal pertunangan bila kandas di tengah jalan, calon linto baro tidak lagi berhasrat untuk melanjutkan kepernikahan maka mahar yang dibawa saat pertunangan akan hagus atau (dijadikan sebagai kenangan) hak untuk calon dara baro, jika calon dara baro yang tidak lagi berhasrat untuk melanjutkan kepernikahan, maka mahar yang dibawa di hari pertunangan oleh keluarga linto baro untuk calon dara baro harus dikenakan denda adat yang berbentuk mengembalikan tanda pertunangan (cincin atau kalung atau gelang) yang diberikan dan dikenakan denda adat sebanyak besarnya tanda pertunangan yang diserahkan oleh keluarga calon linto baro tersebut, untuk dikembalikan ke calan linto baro melalui petua adat ataupun keluarga linto baro, umumnya sanksi adat ini di pakai di Aceh.
Pertunangan di Aceh dilakukan dihadapan petua adat gampong ke dua pihak, bukan kedua keluarga saja, keterlibatan kedua pihak menjadi pengikat silaturahmi yang kuat antar gampong tidak hanya dua insan yang dipertunangankannya saja.
Adapun penyebab ternodanya adat pertunangan di Aceh: 1. Pengaruh budaya barat yaitu praweeding pra pertunangan yang berlebih-lebihan seperti menghias rumah calon dara baro seperti suasana pesta pernikahan yang megah dan mahal. 2. Calon pria dihadirkan dikhalayak rame dan dipertontonkan duduk di atas pelaminan prawedding yang telah disiapkan, 3. Prosesi pemasangan cincin/gelang oleh si calon pria ke jari manis/tangan si calon dara baro dihadapan para petua adat dan keluarga kedua belah pihak. 4. Pengambilan fhoto-fhoto prawedding atas si calon linto baro dengan calon dara baro di pelaminan prawedding sedangkan mereka belum akad nikah.
Saya menyampaikan kepada pemerintah, pemangku agama dan pemangku adat istiadat di Aceh disemua tingkatan supaya: 1. Menolak budaya barat masuk ke Aceh demi menjaga marwah bangsa Aceh dengan mengedepankan penegakan Syariat Islam yang kaffah. 2. Membuat resam gampong tentang sanksi adat atas pelanggaran pertunagan secara tertulis. 3. Menyikapi dan memberikan solusi kongkret setiap persolaan budaya, adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat Aceh. 4. Mengajak semua stakeholders untuk saling menyampaikan pesan-pesan moral kepada masyarakat terutama hal pertunangan yang syar’i dengan harapan menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah